Kenabian Terakhir dalam Pandangan Para Ahli

0cbe4232Oleh : TN

Pendapat Para Ahli tentang Makna khaatam:

  1. Ibnu Faris, salah seorang ulama besar dalam Ilmu Bahasa berpendapat bahwa makna asli dari khaatam adalah mengakhiri sesuatu. Dalam bahasa Arab disebutkan Khatamtul ‘amala bermakna “aku menyelesaikan pekerjaan”. Demikian pula jika menyatakan khatamal qari’u ash-shurata berarti “pembaca al-Qur’an mengkhatamkan (menuntaskan) surah yakni ia membaca surah tersebut sampai akhir. Dengan demikian, kata khaatam bermakna “menutup sesuatu” karena pekerjaan terakhir dalam menjaga sesuatu adalah dengan jalan menutup wadah atau tempatnya. Kata khaatam baik dengan hutuf ta yang berharakat fathah maupun kasrah bermakna demikian karena sudah menjadi kebiasaan mengakhiri surat atau tulisan dengan stempel atau cincin yang menjadi stempel. Mengecap surat berarti bahwa surat tersebut telah berakhir. Nabi Muhammad SAW disebut sebagai khaatamul anbiya karena Nabi terakhir utusan Allah dan yang dimaksud dengan khitamuhu misk yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah sesuatu yang terakhir yang tercium ketika meminum minuman tersebut adalah wangi kesturi. (Sumber: Al-Maqayis, huruf kha, ta, mim)
  2. Abul Baqa ‘Akbari salah seorang ulama terkenal terkait ayat walakin Rasulullahi wa khaataman nabiyyiin berpendapat bahwa khaatama dengan huruf ta berharakat fathah atau dalam bentuk fi’il madhi merupakan bentuk mufa’alah yakni Nabi Muhammad SAW mengakhiri para utusan illahi. Demikian pula, para ahli lainnya berpendapat bahwa khaatam dengan huruf ta yang berharakat fathah adalah bermakna akhir atau terakhir. Ataupun ahli lain yang mengatakan bahwa kata tersebut adalah khaatamun nabiyyin bermakna maktumbihi annabiyun (Nabi-nabi diakhiri dengannya) maka bermakna “Nab-nabi utusan Allah diakhiri dengan Nabi Muhammad SAW. Kemungkinan diatas adalah jika huruf ta pada kata khaatam berharakat fathah. Adapun jika huruf ta dibaca dengan berharakat kasrah sebagaimana enam orang qurra sab’ah membacanya tetaplah bermakna “akhir atau terakhir”. Kesimpulannya, kemungkinan yang telah disebutkan, ayat diatas bermakna Muhammad SAW adalah Nabi terakhir utusan Allah dan tidak ada Nabi sepeninggal beliau. (Sumber: At-Tibyan i Irab al-Qur’an, jilid 2, hal.100)
  3. Fairuz abadi, didalam kamusnya, menyebutkan khaatam bermakna “mengecap”. dalam bahasa Arab disebutkan khaatama ‘ala qalbihi bermakna “hatinya mengalami sesuatu sehingga ia tidak memahami dan kekotoran jiwa tidak keluar dari ruhnya” bagaikan botol yang telah ditutup yang tidak mungkin keluar sesuatu yang ada didalamnya dan tidak ada sesuatu yang bisa masuk kedalamnya. Jika dikatakan khaatama syay-u yaitu mencapai akhir sesuatu. (Sumber: Qamus al-Lughah, jilid 4, hal 102)
  4. Jauhari dalam kamusnya menuliskan bahwa kata khaatam bermakna “sampai pada akhir” dan kata akhtatimu adalah lawan kata dari kata aftatihu yang bermakna memulai, mengawali, dan membuka. Sementara kata akhtatimu bermakna “mengakhiri atau menutup”. Kata khaatam baik dengan huruf ta yang berharakat fathah maupun kasrah memiliki arti yang sama. Kata khaatimatu syai yaitu akhir sesuatu dan kata khaatamul anbiya merupakan julukan Rasulullah SAW. (Sumber: Muktar ash-shihah, hal.130)
  5. Ibnu Manzhur dalam kamus besarnya menuliskan bahwa khitamul qaum yaitu orang terakhir pada suatu kaum dan kata khaatam meruapakan salah satu julukan Rasulullah SAW sementara kata khaatamun nabiyyin dalam ayat walakin Rasulullahi wa khaataman nabiyyiin bermakna “Nabi terakhir”. (Sumber: Lisanul Arab, jilid 5 hal.55)
  6. Abu Muhammad Damiri dalam Nzdzam berkata, khaatim dengan huruf ta yang berharakat kasrah bermakna “penutup”. (Sumber: At Taisir fi ‘ulumil Quran, hal.90)
  7. Baidhawi seorang ahli tafsir terkenal berpendapat bahwa khaatamun nabiyyin bermakna “Nabi terakhir yang mengakhiri nabi-nabi utusan Allah”. Jika kita membaca sesuai dengan  qiraat ‘ashim yaitu dengan harakat fathah pada huruf ta, maka berarti “seorang nabi yang mengakhiri atau menutup rangkaian para nabi utusan Allah” sebagaimana sebuah surat dicap atau distempel ketika selesai. (Sumber: Anwar at-Tanzil. hal.342)
  8. Raghib Isfahani dalam kamusnya al-mufradat menuliskan bahwa dalam bahasa arab, ketika mengucapkan khaatamul qur’an berarti “aku menyelesaikan al-Qur’an yakni membacanya sampai akhir”. Rasulullah SAW disebut sebagai khaatamun nabiyyin karena beliau mengakhiri kenabian yaitu dengan kedatangan beliau pintu kenabian tertutup.
  9. Ibnu Khaldun seorang filosof dan ahli sejarah ternama dalam Muqaddimah menjelaskan bahwa mengecap surat atau surat-surat penting lain sangat membudaya dan terkenal di kalangan para pembesar sebelum Islam dan sesudah Islam. Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih meriwayatkan ketika Rasulullah SAW ingin menulis sepucuk surat untuk penguasa romawi, para sahabat mengingatkan beliau dan berkata,”Penguasa Romawi tidak akan menerima surat yang tidak dicap. Rasul memerintahkan, untuk membuat cincin dari perak yang diatasnya bertuliskan Muhammad Rasulullah. Sejak saat itu, surat-surat beliau SAW dicap dengan cincin tersebut. Kemudian, Ibnu Khaldun melanjutkan dalam bahasa arab saat menyatakan khaatamtul amra artinya “aku mengakhirinya”. Begitu pula jika dikatakan khaatamtul qur’an maka berarti “aku membaca al-Qur’an hingga akhir. Khaatamun nabiyyin bermakna “Nabi terakhir”. Beliau juga menambahkan, mengecap surat dengan stempel atau cincin menandakan bahwa surat telah selesai dan maksud penulis telah berakhir serta menandakan kebenaran isi surat tersebut. Jika surat atau dokumen tidak memiliki stempel maka berarti belum selesai dan tidak berarti.

11 Tanggapan

  1. Sungguh lengkap penjelasannya. Sangat berguna sekali

  2. Assalamu’alaikum,
    Pendapat Ulama-ulama Salaf Tentang Ayat “Khatamannabiyyin” dan Hadits “Laa nabiyya ba’di”.

    Hampir semua ulama muhaqqiqin (ahli penyelidik) sepakat menyatakan pendapat bahwa kenabian yang ditutup dalam ayat suci Al Qur’an “khatamannabiyyiin” (penutup nabi-nabi) dan tidak ada lagi dalam hadits “laa nabiyya ba’di” (tidak ada lagi nabi sesudah aku) adalah kenabian yang membawa syari’at dan bukanlah sembarang kenabian.
    (1) Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi berkata:”Maksud sabda Nabi saw sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus dan tidak ada lagi rasul dan nabi sesudahku, ialah tidak akan ada nabi yang membawa syariat yang akan menentang syariat aku” (Futuhatul Makkiyyah, jilik II, hal 73). Selanjutnya beliau berkata:”Maka tidaklah kenabian itu terangkat seluruhnya, karena itu kami mengatakan, sesungguhnya yang terangkat ialah nubuwat tasyri’i (kenabian yang membawa syari’at), maka inilah ma’na tidak ada nabi sesudah beliau”.

    (2) Imam Muhammad Thahir Al Gujarati berkata:”Ini tidaklah bertentangan dengan hadits tidak ada nabi sesudahku, karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi nabi yang akan membatalkan syariat beliau” (Takmilah Majmaul Bihar, hal. 85).

    (3) Mulla ‘Ali Al Qari berkata:”Maka tidaklah hal itu bertentangan dengan ayat khatamannabiyyiin karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi nabi yang akan membatalkan agama beliau saw dan nabi yang bukan dari umat beliau saw.” (Maudhuat Kabir, hal 59).

    (4) Nawwab Siddiq Hasan Khan (Penulis Kitab “Husulul Ma’mul”) menulis:”Benar ada hadits yang berbunyi laa nabiyya ba’di yang artinya menurut pendapat ahli ilmu pengetahuan ialah bahwa sesudahku tidak akan ada lagi nabi yang akan menasikhkan/membatalkan syari’atku” (Iqtirabussa’ah, hal. 162).

    (5) Imam Sya’rani berkata:”Dan sabda Nabi saw tidak ada nabi dan rasul sesudah aku maksudnya adalah tidak ada lagi nabi sesudah aku yang membawa syariat” (Al Yawaqit wal Jawahir, jilid II, hal. 42).

    (6) Arif Rabbani Sayyid Abdul Karim Jaelani berkata:”Maka terputuslah undang-undang syariat sesudah beliau dan adalah Nabi Muhammad saw khatamannabiyyin” (Al Insanul Kamil, hal. 66).

    (7) Hadhrat Sayyid Waliyullah Muhaddist Al Dahlawi berkata:”Dan khatamlah nabi-nabi dengan kedatangan beliau, artinya tidak akan ada lagi orang yang akan diutus Allah membawa syari’at untuk manusia” (Tafhimati Ilahiyyah, hal. 53).

    (8) Imam Suyuthi berkata:”Barangsiapa yang mengatakan bahwa Nabi Isa as apabila turun nanti pangkatnya sebagai nabi akan dicabut, maka kafirlah ia sebenar-benarnya.” (Hujajul Karamah, hal. 131). “Maka dia (Isa yang dijanjikan) sekalipun ia menjadi khalifah dalam umat Nabi Muhammad saw, namun ia tetap berpangkat rasul dan nabi yang mulia sebagaimana semula.” (Hujajul Karamah, hal. 426).

    (9) Siti Aisyah ra berkata:”Kamu boleh mengatakan bahwa ia (Nabi Muhammad saw) khatamannabiyyiin, tetapi janganlah kamu katakan tidak ada nabi sesudahnya.” (Durrun Mantsur, jilid V, hal. 204 dan Takmilah Majmaul Bihar, hal. 5).

    Pendapat ulama-ulama yang terkenal di kalangan umat Islam tersebut diatas menyatakan pendapat mereka masing-masing dengan terang dan tegas bahwa bukanlah sembarang nabi yang tidak akan datang sesudah Nabi Muhammad saw meninggal dunia, melainkan hanyalah yang membawa syari’at baru. Adapun nabi yang tidak membawa syariat baru dan hanya akan membantu Nabi Muhammad saw untuk memenangkan Islam di atas semua agama dan yang akan memberbaiki kesalahan-kesalahan faham dalam umat sendiri tetap ada dan akan ada, karena kedatangan nabi yang seperti itu tidak akan mengurangi martabat Nabi Muhammad Rasulullah saw, bahkan – sebaliknya – akan menambah kemuliaan dan ketinggian derajat beliau saw.

    Uraian ini dikutip dari buku “Masalah Kenabian” hal. 6 s/d 9 yang ditulis oleh M. Ahmad Nuruddin, muballigh awalin, Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Semoga bermanfaat untuk dipertimbangkan oleh muslimin Indonesia. Wassalam.

  3. Assalamu’alaikum,
    Pendapat Ulama-ulama Salaf Tentang Ayat “Khatamannabiyyin” dan Hadits “Laa nabiyya ba’di”.

    Hampir semua ulama muhaqqiqin (ahli penyelidik) sepakat menyatakan pendapat bahwa kenabian yang ditutup dalam ayat suci Al Qur’an “khatamannabiyyiin” (penutup nabi-nabi) dan tidak ada lagi dalam hadits “laa nabiyya ba’di” (tidak ada lagi nabi sesudah aku) adalah kenabian yang membawa syari’at dan bukanlah sembarang kenabian.
    (1) Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi berkata:”Maksud sabda Nabi saw sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus dan tidak ada lagi rasul dan nabi sesudahku, ialah tidak akan ada nabi yang membawa syariat yang akan menentang syariat aku” (Futuhatul Makkiyyah, jilik II, hal 73). Selanjutnya beliau berkata:”Maka tidaklah kenabian itu terangkat seluruhnya, karena itu kami mengatakan, sesungguhnya yang terangkat ialah nubuwat tasyri’i (kenabian yang membawa syari’at), maka inilah ma’na tidak ada nabi sesudah beliau”.

    (2) Imam Muhammad Thahir Al Gujarati berkata:”Ini tidaklah bertentangan dengan hadits tidak ada nabi sesudahku, karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi nabi yang akan membatalkan syariat beliau” (Takmilah Majmaul Bihar, hal. 85).

    (3) Mulla ‘Ali Al Qari berkata:”Maka tidaklah hal itu bertentangan dengan ayat khatamannabiyyiin karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi nabi yang akan membatalkan agama beliau saw dan nabi yang bukan dari umat beliau saw.” (Maudhuat Kabir, hal 59).

    (4) Nawwab Siddiq Hasan Khan (Penulis Kitab “Husulul Ma’mul”) menulis:”Benar ada hadits yang berbunyi laa nabiyya ba’di yang artinya menurut pendapat ahli ilmu pengetahuan ialah bahwa sesudahku tidak akan ada lagi nabi yang akan menasikhkan/membatalkan syari’atku” (Iqtirabussa’ah, hal. 162).

    (5) Imam Sya’rani berkata:”Dan sabda Nabi saw tidak ada nabi dan rasul sesudah aku maksudnya adalah tidak ada lagi nabi sesudah aku yang membawa syariat” (Al Yawaqit wal Jawahir, jilid II, hal. 42).

    (6) Arif Rabbani Sayyid Abdul Karim Jaelani berkata:”Maka terputuslah undang-undang syariat sesudah beliau dan adalah Nabi Muhammad saw khatamannabiyyin” (Al Insanul Kamil, hal. 66).

    (7) Hadhrat Sayyid Waliyullah Muhaddist Al Dahlawi berkata:”Dan khatamlah nabi-nabi dengan kedatangan beliau, artinya tidak akan ada lagi orang yang akan diutus Allah membawa syari’at untuk manusia” (Tafhimati Ilahiyyah, hal. 53).

    (8) Imam Suyuthi berkata:”Barangsiapa yang mengatakan bahwa Nabi Isa as apabila turun nanti pangkatnya sebagai nabi akan dicabut, maka kafirlah ia sebenar-benarnya.” (Hujajul Karamah, hal. 131). “Maka dia (Isa yang dijanjikan) sekalipun ia menjadi khalifah dalam umat Nabi Muhammad saw, namun ia tetap berpangkat rasul dan nabi yang mulia sebagaimana semula.” (Hujajul Karamah, hal. 426).

    Terima Kasih…Anda telah membuktikan kepada para pembaca bahwa Ahmadiyah bertqalig kepada Manusia dan bukan kepada Al-Qur’an.
    Hal seperti ini sudah dijelaskan di blog ini:

    Gelar Khaatam yang diberikan oleh Manusia

    Anda ini ternyata orang yang malas juga membaca padahal jawaban-jawab mengenai Ahmadiyah sudah banyak di blog ini. Anda hanya mencontek dari doktrin Ahmadiyah saja dan menulisnya tanpa Anda uji kebenarannya melalui Al-Qur’an.
    Saya tantang Anda untuk menjelaskan tata bahasa Arab mengenai khaataman nabiyyin. Bagaimana tantangan saya ini, apakah Anda terima?
    Kita lanjutkan saja diskusi Ahmadiyah ttg khaatama annabiyiin yang pernah dibahas di http://z8.invisionfree.com/islamic/index.php?showtopic=49

    Saya memberikan link tersebut agar Anda tidak perlu lagi meulang-ulang lagi apa yang pernah dibahas dan sudah dipatahkan non ahmadi. Karena saya tahu doktrin ahmadiyah mentok hanya disitu saja jawabannya.

    (9) Siti Aisyah ra berkata:”Kamu boleh mengatakan bahwa ia (Nabi Muhammad saw) khatamannabiyyiin, tetapi janganlah kamu katakan tidak ada nabi sesudahnya.” (Durrun Mantsur, jilid V, hal. 204 dan Takmilah Majmaul Bihar, hal. 5).

    sudah dijelaskan di https://muhammadinsan.wordpress.com/2009/05/14/perkataam-aisyah-tentang-khatam-al-nabiyyin/

    Pendapat ulama-ulama yang terkenal di kalangan umat Islam tersebut diatas menyatakan pendapat mereka masing-masing dengan terang dan tegas bahwa bukanlah sembarang nabi yang tidak akan datang sesudah Nabi Muhammad saw meninggal dunia, melainkan hanyalah yang membawa syari’at baru. Adapun nabi yang tidak membawa syariat baru dan hanya akan membantu Nabi Muhammad saw untuk memenangkan Islam di atas semua agama dan yang akan memberbaiki kesalahan-kesalahan faham dalam umat sendiri tetap ada dan akan ada, karena kedatangan nabi yang seperti itu tidak akan mengurangi martabat Nabi Muhammad Rasulullah saw, bahkan – sebaliknya – akan menambah kemuliaan dan ketinggian derajat beliau saw.

    Uraian ini dikutip dari buku “Masalah Kenabian” hal. 6 s/d 9 yang ditulis oleh M. Ahmad Nuruddin, muballigh awalin, Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Semoga bermanfaat untuk dipertimbangkan oleh muslimin Indonesia. Wassalam.

    Terima Kasih Anda telah membuktikan kepada para pembaca semua bahwa Ahmadiyah berpedoman kepada manusia sedangkan saya berpedoman Al-Qur’an hadits yang shahih. Sampai sejauh semua bukti yang Anda tulis belum bisa menguatkan pendakwaan Ghulam Ahmad. Justru yang Anda semakin menguatkan di mata para pembaca bahwa Ahmadiyah itu sesat

  4. Assalamu’alaikum,
    JALAN LURUS MENURUT AL QUR’AN
    “Tunjukilah kami pada jalan yang lurus; Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka, bukan atas mereka yang dimurkai dan bukan pula yang sesat.” (QS Al Fatihah 6-7).

    Doa ini diajarkan Allah Ta’ala agar manusia memperoleh keselamatan dunia akhirat (Syirathal Mustaqim/Jalan yang lurus) dari Surah Al Fatihah yang merupakan matan/intisari dari Surah-Surah Al Qur’an yang jumlahnya 114. Doa-doa yang dipanjatkan kepada Tuhan ada tiga macam yaitu (a) yang disusun sendiri kata-katanya oleh pemohon, (b) yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, dan (c) yang diajarkan Allah Ta’ala. Melalui Nabi Muhammad saw, umat Islam diajarkan Allah Ta’ala untuk berdoa kepada-Nya seperti dalam Surah Al Fatihah itu paling sedikit 17 kali dalam setiap raka’at shalat fardlu. Oleh karena itu, doa yang diajarkan Allah Ta’ala dibandingkan dengan doa yang disusun sendiri akan lebih didengar dan pasti dikabulkan-Nya, karena mustahil Allah Ta’ala menyuruh kita minta sesuatu, tetapi Dia tidak mengabulkannya.

    Menurut Surah Al Fatihah 6-7, Allah mengajarkan kepada umat Islam supaya meminta kepada-Nya agar nikmat-nikmat Allah yang pernah dianugerahkan kepada Bani Israil (Yahudi) juga boleh dianugerahkan kepada umat Islam. Nikmat-nikmat Allah apa yang telah dianugerahkan kepada Bani Israil (Yahudi)? Allah Ta’ala berfirman:”Dan, ketika Musa berkata kepada kaumnya (Bani Israil/Yahudi), ‘Wahai kaumku, ingatlah kamu kepada nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu yaitu waktu Dia menjadikan (diantara) kamu nabi-nabi dan raja-raja.” (Al Maidah 21).

    Dalam ayat diatas, jelas bahwa Allah Ta’ala pernah menganugerahkan nikmat-nikmat-Nya kepada Bani Israil yaitu nabi-nabi dan raja-raja. Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa umat Islam pun pasti akan dianugerahi kedua macam nikmat Allah tersebut. Nikmat Allah yang kedua, raja-raja, sudah sempurna karena sudah banyak sekali orang-orang Islam yang telah menjadi raja. Nikmat yang kesatu juga pasti akan sempurna karena nikmat Allah berupa nabi-nabi adalah Shirathal Mustaqim/Jalan Lurus Hakiki yang akan membawa kita kepada keselamatan dunia dan akhirat. Mengapa nikmat yang kesatu atau nabi-nabi itu pasti akan dianugerahkan kepada umat Islam? Karena umat Islam adalah umat yang terbaik yang pernah diciptakan Tuhan, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:”Kamu (umat Islam) adalah umat yang terbaik yang pernah dilahirkan untuk (keselamatan) umat manusia.” (QS Ali Imran 111). Jika umat Islam tidak dianugerahi nikmat Allah yang kesatu (nabi-nabi), berarti umat Islam bukan yang terbaik, tetapi sebaliknya lebih buruk dibandingkan umat terdahulu, Bani Israil/Yahudi, yang dari antara mereka Allah Ta’ala telah membangkitkan ribuan nabi dan rasul Allah.

    Pertanyaan berikutnya adalah selain berdoa sebagaimana diajarkan Allah dalam Al Fatihah 6-7, apalagi yang harus dilakukan oleh umat Islam agar dapat dianugerahi nikmat Allah yang kesatu (nabi-nabi)? Caranya adalah dengan menta’ati Allah dan Rasulullah saw, sebagaimana firman-Nya:”Barangsiapa ta’at kepada Allah dan Rasul ini (Muhammad saw), mereka akan termasuk kedalam golongan orang-orang yang diberi nikmat Allah; yaitu nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid dan shaleh-shaleh.” (An-Nisa 70).

    Ayat ini menjelaskan bahwa umat Islam, sebagai umat yang terbaik dan ta’at kepada Allah dan Rasulullah saw, pasti akan dianugerahi empat macam nikmat Allah; yaitu nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid dan shaleh-shaleh. Pendek kata, sebagai umat Islam, selaras dengan keimanan, kesetiaan dan keikhlasan mereka masing-masing terhadap Allah dan Rasulullah saw, maka taufik Ilahi akan menyertai mereka pula, dan dapat menerima satu, atau dua, atau tiga atau keempat macam nikmat Allah berupa pangkat kerohanian tersebut.

    Dalam ayat tersebut ada kata “ma’a” yang artinya “min” yaitu “dari” atau “termasuk”, yang sering disalah-artikan menjadi “beserta” atau “bersama-sama”. Tapi yang benar arti kata “ma’a” adalah “min” yaitu “dari” atau “termasuk”. Penggunaan kata “ma’a” yang artinya “min” yaitu “dari” atau “termasuk” terdapat juga dalam Al Qur’an:”Wahai iblis kenapa engkau tidak mau termasuk orang-orang yang sujud?” (Al Hijr 33), dan “Maka sujudlah mereka semua kecuali iblis, ia bukan dari orang-orang yang bersujud.” (Al Baqarah 35). Pendek kata, Surah An-Nisa ayat 70 berarti bahwa umat Islam yang ta’at kepada Allah dan Rasulullah saw akan termasuk ke dalam golongan yang dianugerahi nikmat Allah; yaitu nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid dan shaleh-shaleh. Jika kata “ma’a” dalam Surah An-Nisa ayat 70 ini diartikan “beserta” atau “bersama-sama”, maka seluruh kalimat dalam ayat tersebut akan berarti bahwa umat Islam yang ta’at kepada Allah dan Rasulullah saw hanya akan “beserta” atau “bersama-sama” nabi-nabi (bukan menjadi nabi), “beserta” atau “bersama-sama” shiddiq-shiddiq (bukan menjadi shiddiq), “beserta” atau “bersama-sama” syahid-syahid (bukan menjadi syahid) dan “beserta” atau “bersama-sama” shaleh-shaleh (bukan menjadi shaleh).

    Penafsiran tersebut keliru karena sejarah membuktikan bahwa dalam Islam banyak orang-orang yang sudah menjadi shiddiq-shiddiq, menjadi syahid-syahid dan menjadi shaleh-shaleh, bukan hanya orang-orang yang sekedar beserta shiddiq-shiddiq, beserta syahid-syahid dan beserta shaleh-shaleh saja.

    ‘Alamah Abu Hayyan berkata:”Dan jika kata “minannabiyyin” (dari nabi-nabi) dihubungkan dengan kata “wa man’yuthi’illaha warrasula” (dan barangsiapa ta’at kepada Allah dan Rasul ini), maka kata minannabiyyin itu adalah tafsir (penjelasan) dari kata “wa man’yuthi’illaha (barangsiapa ta’at kepada Allah). Maka dengan susunan seperti ini sudah pasti akan ada nabi-nabi pada masa Rasulullah saw atau sesudah beliau saw yang menta’ati beliau saw” (Bahrul Muhith, Jilid III, hal 247).

    Kesimpulan:
    (1) Umat Islam diajarkan Allah Ta’ala untuk berdoa, sesuai Surah Al Fatihah 6-7, kepada-Nya agar ditunjukan Shirathal Mustaqim atau Jalan Lurus supaya dianugerahi nikmat-nikmat Allah sebagaimana yang pernah dianugerahkan kepada Bani Israil/Yahudi yaitu nabi-nabi dan raja-raja. Nikmat Allah berupa raja-raja sudah tergenapi oleh umat Islam, kecuali nabi-nabi.
    (2) Karena umat Islam adalah umat yang terbaik, maka nikmat Allah berupa nabi-nabi pun pasti akan Allah anugerahkan kepada umat Islam yang ta’at kepada Allah dan Rasulullah saw, jika tidak maka umat Islam bukan umat yang terbaik, bahkan sebaliknya akan lebih buruk dari Bani Israil/Yahudi.
    (3) Pintu kenabian setelah Nabi Muhammad saw yang ta’at kepada Allah dan Rasulullah saw masih terbuka lebar bagi umat Islam. Itulah Shirathal Mustaqim atau Jalan Lurus Hakiki.
    Wassalam.

  5. Aduh pak….lagi-lagi dalil yang sudah basi yang sudah dipatahkan non ahmadi di http://islamic.us.to lagipula ayat-ayat tersebut penjelasannya sudah ada di blog ini juga. Anda ini orang yang malas sekali untuk mencari-cari ilmu diblog ini dan di http://islamic.us.to

    KESIMPULAN:
    -Kedua ayat itu masih belum membuktikan ada lagi sesudah Nabi Muhammad.
    -Bukti ini masih belum membuktikan pendakwaan Ghulam Ahmad.

    Jangan asal contek saja pak. Pesan saya yg kesekian kalinya, ya yang kreatif gitulah dengan pemikiran Anda sendiri. Ok.

    Silahkan bukti yang lain, ayat-ayat ini sudah pernah dipatahkan. Jangan dalil2 yang sudah basi ya pak 😀

  6. Koq jawabannya mentok begini pak. Ayo dong yang semangat gitu dalam memberikan dalil2 yang inovatif 😀

  7. Apapun bukti yang Anda berikan, sudah dipatahkan oleh Nabi Anda sendiri bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi yang terkahir

    diantaranya, yang pertama Adam dan terakhir Ahmad (Muhammad saw).

    Sumber: “Da’watul Amir”, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad hal.204

    Ceritanya doktrin makan tuan 😀

  8. سْمِ اللهِ الرَّحْمـٰنِ الرَّحِيمِ
    Assalamu’alaikum,
    Pakar Debat Kusir menulis:
    diantaranya, yang pertama Adam dan terakhir Ahmad (Muhammad saw).“
    Namun Ahmad (Muhammad saw) paling bersinar dari semua.

    Sinar Galih menjawab:
    Allah Ta’ala telah mengutus Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as sebagai Imam Mahdi & Masih Mau’ud dan Nabi/Rasul yang memperkuat syari’at Nabi Muhammad saw, tidak mungkin beliau as menulis seperti itu KECUALI DENGAN MAKSUD:
    diantaranya, yang pertama (syari’at) Adam dan terakhir (syari’at) Ahmad (Muhammad saw), atau
    diantaranya, Adam (Nabi Yang Membawa Syari’at Pertama) dan Ahmad (Muhammad saw) (Nabi Yang Membawa Syari’at Terakhir dan Sempurna).

    Namun Ahmad (Muhammad saw) paling bersinar dari semua (Nah ini lah arti Khataman-Nabiyyin atau “Bintangnya Para Nabi”).

    Karena yang menulis sya’ir itu adalah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, maka kalimat:
    “Namun Ahmad (Muhammad saw)”
    khusus hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad Rasulullah saw saja, bukan kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as.

    Ssssst, jangan cemburu yah, Jemaat Islam Ahmadiyah sudah sampai di Jepang loh. Penasaran, silahkan browse: http://www.ahmadiyyat.jp/

    Wassalam.

  9. سْمِ اللهِ الرَّحْمـٰنِ الرَّحِيمِ
    Assalamu’alaikum,
    http://www.ahmadiyya.no/ mengucapkan:
    EID MUBARAK 1 SYAWAL 1431H
    MAAF LAHIR BATIN
    Wassalam.

  10. Kesimpulan hasil diskusi dengan pihak Ahmadi:

    1. Pihak Ahmadi tidak bisa memberikan bukti berupa Al-Qur’an maupun hadits bahwa Ghulam Ahmad adalah Manusia seperti Isa, Muhammad, Krisna, Masiodarbahmi, budha, dll. Bukti pendakwaan ghulam Ahmad bisa dilihat di buku ahmadiyah “Menjawab seruan Ahmadiyah”.

    2. Pihak Ahmadi tidak bisa memberikan bukti bahwa ada lagi Nabi baru sesudah Nabi Muhammad SAW baik di Al-Qur’an maupun hadits.

    3. Pihak Ahmadi tidak bisa memberikan bukti di Al-Qur’an bahwa Ghulam Ahmad adalah khalifatullah/wakil tuhan menurut pengakuan Ghulam Ahmad di bukunya “Menghapus Suatu Kesalahpahaman(Ek Ghalati Ka Izala)”. Pengakuan khalifatullah/wakil tuhan adalah pengakuan orang yang sesat karena Allah tidak memiliki Wakil. Para Nabi sampai Nabi terakhir Nabi Muhammad SAW pun tidak pernah mengaku dirinya adalah Wakil Tuhan.

    4. Pihak Ahmadi memberikan argumen yang lemah dalam membantah penjelasan dari pihak non ahmadi terutama dalam mengartikan khaatama Annabiyyin dengan Cincin/Meterai/Stempel Para Nabi karena para sahabat tidak pernah mengartikan khaatama Annabiyin dengan Cincin Para Nabi tetapi penutup para Nabi. Para sahabat adalah sebaik-baik generasi yang tidak bisa dibandingkan dengan Mirza Ghulam Ahmad yang sesat. Pengertian Penutup Para Nabi dikuatkan oleh ayat-ayat Al-Qu’ran diantaranya Surat Al-Baqarah ayat 7, Surat Al-An’am ayat 46, Surat Al-Jatsiyah ayat 23, Surat Asy-syura ayat 24, Surat yasin ayat 65. Bahkan Bangsa Arab maupun non Ahmadi tidak mengenal Rasulullah SAW sebagai Cincin para Nabi karena Rasulullah SAW bukanlah sebuah Cincin/Materai/Stempel karena Cincin yang dipergunakan Rasulullah hanya sebagai alat untuk mengecap surat-suratnya.

    5. Ajaran Ahmadiyah telah dipatahkan oleh tulisan Nabi dan khalifah Ahmadiyah di dalam buku Da’watul Amir

    diantaranya, yang pertama Adam dan terakhir Ahmad (Muhammad saw).

    Namun Ahmad (Muhammad saw) paling bersinar dari semua.

    Sumber: “Da’watul Amir”, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad hal.204

    Pada kalimat tersebut tidak tertulis sedikitpun ada kata syariat. Apabila dalam kata tersebut terdapat kata syariat berarti Nabi Ahmad yang akan datang akan membawa syariat dan ini akan bertentangan dengan pengakuan MGA bahwa dirinya adalah Nabi yang tidak membawa syariat. DOKTRIN MAKAN TUAN 😀

  11. سْمِ اللهِ الرَّحْمـٰنِ الرَّحِيمِ
    Assalamu’alaikum,
    http://www.ahmadiyya.no/ mengucapkan:
    EID MUBARAK 1 SYAWAL 1431H
    MAAF LAHIR BATIN
    Wassalam.

    Wa alaikumus salam Wr Wb

    Mohon Maaf lahir dan batin

    Wassalam

Tinggalkan Balasan ke Netral Batalkan balasan